Ini adalah sebuah cerita tentang cinta.
Aku tidak pernah seterburu-buru ini. Aku menginjak pedal gas mobil berwarna silver itu dengan cepat, berharap aku cepat kembali ke kontrakan tempat ku tinggal dan menceritakan semua, tentang cerita mengenai cinta yang kudapat hari ini, dari seorang konsulen radiologiku.
Hari ini berjalan seperti biasa adanya. Aku yang datang dan kemudian membubuhkan tanda tangan dalam sebuah kertas absen kemudian sarapan dan bercengkrama sejenak bersama 2 orang temanku.
Konsulenku datang, datang dari universitas yang sama denganku, beliau adalah alumni Universitas Yarsi angkatan 86. Jika dihitung, anggaplah umur beliau hampir menginjak kepala 5. Bertubuh tinggi, tersenyum ramah ke arah kami bertiga. Mengajarkan kami untuk membaca hasil foto rontgen yang sudah tertumpuk tinggi di meja kerjanya. Hampir pukul 1 siang kami membaca semua foto rontgen, hingga beliau berujar kepadaku..
"Falla, sudah memiliki calon suami?" Aku hanya berada pada persimpangan antara menggeleng dan mengangguk. Bukan bermaksud menyembunyikan, aku hanya sedang tidak tertarik untuk berbicara lebih jauh mengenai kecintaanku terhadap pria yang sekarang ku kencani. Lalu beliau bertanya kembali, "Pacar kamu 1 Yarsi juga?" aku hanya menggeleng.
Beliau melanjutkan pekerjaannya kembali. Akupun kembali mencatat setiap omongan yang keluar dari mulut seorang dokter yang dimataku cukup berwibawa, walau perutnya sudah mulai membuncit. Sembari meminum teh kotak yang ada, beliau memulai ceritanya. Tentang sebuah cerita cinta dimasa kuliahnya bersama seorang wanita bernama Dokter Ima.
"Saya dulu punya pacar, kami biasa belajar bersama, pergi makan siang bersama diwarung Udin setiap hari, kami melakukan persaingan nilai dan saya selalu mengantarnya pulang. Tapi kami memutuskan berpisah tepat saat kami ingin menghadapi ujian negara karena sebuah komitmen. Kami pacaran 8 tahun, dek.."
Beliau memulai ceritanya dengan bola mata yang berputar keseluruh sudut ruang kecil di pojok Rumah Sakit itu. Aku menyimaknya, berharap aku mendapatkan sebuah akhir yang bahagia. Tapi anggapanku salah.
Tahun 1994 tepat sebelum ujian negara, Dokter spesialis saya melakukan pembicaraan serius terhadap Dokter Ima. (Dari cerita beliau, Dokter Ima adalah sosok perempuan manis yang ramah dan sangat cerdas. Menurut dokter saya pula, nilai yang didapatkan Dokter Ima selalu diatas beliau. Mereka sering bersaing, membagi tawa dan canda. Memberikan ejekan-ejekan cinta mengenai siapa yang mendapatkan nilai lebih tinggi di ujian yang sedang berlangsung).
Otakku merekam setiap dialog antar mereka yang diperankan oleh dokter spesialisku sendiri.
"Kita harus berbicara tentang sebuah komitmen. Jika di semester 1 kita berpacaran mungkin hanya karena sebuah nafsu, tapi sekarang saya harus mulai berfikir dewasa. Amanah Ibu saya agar saya mendapat istri yang bisa menjaga anak-anak. Dan saya adalah seorang pria, tidak mungkin saya yang mengalah. Maukah kamu tidak menjadi dokter spesialis dan hanya menjadi dokter umum dan menghabiskan sebagian besar hidupmu di rumah mengurus anak-anak?"
Dokter Ima menggeleng pasti, sembari memberikan pilihan hal lain selain mengambil spesialis kepada dokter spesialis saya. "Kamu bisa menjadi kepala dinas rumah sakit. Bekerja dibalik meja, kerja kantoran sebagai pengawai negeri sipil" Kata Dokter Ima kepada dokter spesialis radiologi saya. Dengan pasti pula, dokter spesialis saya menggeleng. "Saya pria. Sayapun punya mimpi. Dan saya tidak mau anak-anak saya terlantar tidak ada yang mengurus apabila saya dan kamu sama-sama sibuk."
"Sayapun memiliki mimpi.." Ujar dokter Ima.
dan mereka memutuskan untuk berpisah.
"Saya tidak akan menikah, sebelum kamu menikah, Ima.."
Sebelum berpisah, mereka telah sama-sama mendaftar ke Universitas Gadjah Mada. Tepat dihari keberangkatan dokter spesialis saya membatalkan kepergiannya dan membiarkan Dokter Ima berangkat sendiri tanpa Beliau. Dokter Ima marah besar terhadap konsulen saya. Tetapi, lagi-lagi, sebuah cerita dari Tuhan akan menuntun Dokter Ima ke jalan yang lain. Selama persiapan menembus Ujian Spesialis, dokter Ima berkenalan dengan seorang pria..... yang kemudian menjadi suaminya. Dan Dokter Ima berhasil diterima dalam program (yang kebetulan sama dengan Beliau). Spesialis Radiologi. Dan masa -masa setelah itu dilalui seperti biasa.
Dokter spesialis saya menceritakan cerita itu dengan pandangan mata yang lagi-lagi menerawang.
"Saya saat itu tidak menangis, tapi kalau bahasa anak sekarang galau, dek.. Saya galau sekali. Coba kamu bayangkan 8 tahun kita bersama dan putus hanya karena sebuah komitmen dalam penggapaian mimpi, lalu beberapa tahun kemudian saya bertemu dengan Ibu (;istrinya) lalu kami menikah. Dan semuanya berjalan lancar."
Tahun 2006. 16 tahun kemudian.
Dokter spesialis saya menghadiri sebuah konferensi nasional dokter spesialis radiologi se-Indonesia. Berjalan seperti biasa, lalu seketika waktu diseputar Beliau berhenti, melihat sosok cantik dan sangat ramah dikerumunan dokter yang berbaju putih.
"Mas.. Kamu datang juga?" Wanita itu menyapa kembali, setelah hampir 16 tahun tidak pernah bertemu. Dokter Ima duduk disebelah beliau, dan selama konferensi mereka tidak mendengarkan apa-apa selain sebuah cerita cinta nostalgia masa muda mereka.
Dokter Ima telah menyelesaikan studi S3 dibidang radiotherapy. Dokter spesialis sayapun merupakan sosok yang sangat sibuk. Bayangkan beliau keluar rumah jam 8 pagi dan baru sampai kembali dirumah minimal jam 11 malam. Begitupun dengan dokter Ima. Ada kelegaan didiri dokter spesialis saya tidak jadi menikahi sosok Dokter Ima, yang ternyata benar adanya, sangat sibuk dan pasti tidak akan mampu mengurus anak apabila suaminya juga bekerja sama sibuknya.
...
Dan pada akhir cerita mereka sama-sama mengakui, bahwa jauh dalam lubuk hati mereka yang terdalam......
Mereka tidak pernah saling melupakan. Bahkan setelah hampir 16 tahun dan memiliki putra yang sudah beranjak dewasa.
---
Sebelum konferensi ditahun 2006 itu selesai. Dokter spesialis saya sempat mengutarakan permintaannya yang terakhir kepada Dokter Ima. "Tolong, jangan temui saya lagi. Pura-puralah tidak kenal dengan saya. Karena setiap pertemuan saya dengan kamu itu membahayakan saya dan kamu. Kita akan sama-sama mencederai perasaan pasangan kita masing-masing"
Dokter Ima mengangguk.
Pertemuan kembali itu, setelah 16 tahun yang panjang tanpa pertemuan dan juga rajutan hidup baru berakhir sudah, pada sebuah perjanjian untuk tidak saling menemui.
....
Aku mengemudikan mobilku sembari berfikir,
"Cinta memang sebuah misteri, bahkan saat kita memutuskan untuk berjalan sendiri."
Hari ini berjalan seperti biasa adanya. Aku yang datang dan kemudian membubuhkan tanda tangan dalam sebuah kertas absen kemudian sarapan dan bercengkrama sejenak bersama 2 orang temanku.
Konsulenku datang, datang dari universitas yang sama denganku, beliau adalah alumni Universitas Yarsi angkatan 86. Jika dihitung, anggaplah umur beliau hampir menginjak kepala 5. Bertubuh tinggi, tersenyum ramah ke arah kami bertiga. Mengajarkan kami untuk membaca hasil foto rontgen yang sudah tertumpuk tinggi di meja kerjanya. Hampir pukul 1 siang kami membaca semua foto rontgen, hingga beliau berujar kepadaku..
"Falla, sudah memiliki calon suami?" Aku hanya berada pada persimpangan antara menggeleng dan mengangguk. Bukan bermaksud menyembunyikan, aku hanya sedang tidak tertarik untuk berbicara lebih jauh mengenai kecintaanku terhadap pria yang sekarang ku kencani. Lalu beliau bertanya kembali, "Pacar kamu 1 Yarsi juga?" aku hanya menggeleng.
Beliau melanjutkan pekerjaannya kembali. Akupun kembali mencatat setiap omongan yang keluar dari mulut seorang dokter yang dimataku cukup berwibawa, walau perutnya sudah mulai membuncit. Sembari meminum teh kotak yang ada, beliau memulai ceritanya. Tentang sebuah cerita cinta dimasa kuliahnya bersama seorang wanita bernama Dokter Ima.
"Saya dulu punya pacar, kami biasa belajar bersama, pergi makan siang bersama diwarung Udin setiap hari, kami melakukan persaingan nilai dan saya selalu mengantarnya pulang. Tapi kami memutuskan berpisah tepat saat kami ingin menghadapi ujian negara karena sebuah komitmen. Kami pacaran 8 tahun, dek.."
Beliau memulai ceritanya dengan bola mata yang berputar keseluruh sudut ruang kecil di pojok Rumah Sakit itu. Aku menyimaknya, berharap aku mendapatkan sebuah akhir yang bahagia. Tapi anggapanku salah.
Tahun 1994 tepat sebelum ujian negara, Dokter spesialis saya melakukan pembicaraan serius terhadap Dokter Ima. (Dari cerita beliau, Dokter Ima adalah sosok perempuan manis yang ramah dan sangat cerdas. Menurut dokter saya pula, nilai yang didapatkan Dokter Ima selalu diatas beliau. Mereka sering bersaing, membagi tawa dan canda. Memberikan ejekan-ejekan cinta mengenai siapa yang mendapatkan nilai lebih tinggi di ujian yang sedang berlangsung).
Otakku merekam setiap dialog antar mereka yang diperankan oleh dokter spesialisku sendiri.
"Kita harus berbicara tentang sebuah komitmen. Jika di semester 1 kita berpacaran mungkin hanya karena sebuah nafsu, tapi sekarang saya harus mulai berfikir dewasa. Amanah Ibu saya agar saya mendapat istri yang bisa menjaga anak-anak. Dan saya adalah seorang pria, tidak mungkin saya yang mengalah. Maukah kamu tidak menjadi dokter spesialis dan hanya menjadi dokter umum dan menghabiskan sebagian besar hidupmu di rumah mengurus anak-anak?"
Dokter Ima menggeleng pasti, sembari memberikan pilihan hal lain selain mengambil spesialis kepada dokter spesialis saya. "Kamu bisa menjadi kepala dinas rumah sakit. Bekerja dibalik meja, kerja kantoran sebagai pengawai negeri sipil" Kata Dokter Ima kepada dokter spesialis radiologi saya. Dengan pasti pula, dokter spesialis saya menggeleng. "Saya pria. Sayapun punya mimpi. Dan saya tidak mau anak-anak saya terlantar tidak ada yang mengurus apabila saya dan kamu sama-sama sibuk."
"Sayapun memiliki mimpi.." Ujar dokter Ima.
dan mereka memutuskan untuk berpisah.
"Saya tidak akan menikah, sebelum kamu menikah, Ima.."
Sebelum berpisah, mereka telah sama-sama mendaftar ke Universitas Gadjah Mada. Tepat dihari keberangkatan dokter spesialis saya membatalkan kepergiannya dan membiarkan Dokter Ima berangkat sendiri tanpa Beliau. Dokter Ima marah besar terhadap konsulen saya. Tetapi, lagi-lagi, sebuah cerita dari Tuhan akan menuntun Dokter Ima ke jalan yang lain. Selama persiapan menembus Ujian Spesialis, dokter Ima berkenalan dengan seorang pria..... yang kemudian menjadi suaminya. Dan Dokter Ima berhasil diterima dalam program (yang kebetulan sama dengan Beliau). Spesialis Radiologi. Dan masa -masa setelah itu dilalui seperti biasa.
Dokter spesialis saya menceritakan cerita itu dengan pandangan mata yang lagi-lagi menerawang.
"Saya saat itu tidak menangis, tapi kalau bahasa anak sekarang galau, dek.. Saya galau sekali. Coba kamu bayangkan 8 tahun kita bersama dan putus hanya karena sebuah komitmen dalam penggapaian mimpi, lalu beberapa tahun kemudian saya bertemu dengan Ibu (;istrinya) lalu kami menikah. Dan semuanya berjalan lancar."
Tahun 2006. 16 tahun kemudian.
Dokter spesialis saya menghadiri sebuah konferensi nasional dokter spesialis radiologi se-Indonesia. Berjalan seperti biasa, lalu seketika waktu diseputar Beliau berhenti, melihat sosok cantik dan sangat ramah dikerumunan dokter yang berbaju putih.
"Mas.. Kamu datang juga?" Wanita itu menyapa kembali, setelah hampir 16 tahun tidak pernah bertemu. Dokter Ima duduk disebelah beliau, dan selama konferensi mereka tidak mendengarkan apa-apa selain sebuah cerita cinta nostalgia masa muda mereka.
Dokter Ima telah menyelesaikan studi S3 dibidang radiotherapy. Dokter spesialis sayapun merupakan sosok yang sangat sibuk. Bayangkan beliau keluar rumah jam 8 pagi dan baru sampai kembali dirumah minimal jam 11 malam. Begitupun dengan dokter Ima. Ada kelegaan didiri dokter spesialis saya tidak jadi menikahi sosok Dokter Ima, yang ternyata benar adanya, sangat sibuk dan pasti tidak akan mampu mengurus anak apabila suaminya juga bekerja sama sibuknya.
...
Dan pada akhir cerita mereka sama-sama mengakui, bahwa jauh dalam lubuk hati mereka yang terdalam......
Mereka tidak pernah saling melupakan. Bahkan setelah hampir 16 tahun dan memiliki putra yang sudah beranjak dewasa.
---
Sebelum konferensi ditahun 2006 itu selesai. Dokter spesialis saya sempat mengutarakan permintaannya yang terakhir kepada Dokter Ima. "Tolong, jangan temui saya lagi. Pura-puralah tidak kenal dengan saya. Karena setiap pertemuan saya dengan kamu itu membahayakan saya dan kamu. Kita akan sama-sama mencederai perasaan pasangan kita masing-masing"
Dokter Ima mengangguk.
Pertemuan kembali itu, setelah 16 tahun yang panjang tanpa pertemuan dan juga rajutan hidup baru berakhir sudah, pada sebuah perjanjian untuk tidak saling menemui.
....
Aku mengemudikan mobilku sembari berfikir,
"Cinta memang sebuah misteri, bahkan saat kita memutuskan untuk berjalan sendiri."








0 komentar:
Posting Komentar